Oleh: Hadi Kammis*)
Alor News (Opini) – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah pusat hadir dengan misi mulia, yaitu memastikan setiap anak Indonesia mendapatkan asupan gizi layak agar tumbuh sehat, cerdas, dan siap menjadi generasi emas 2045. Harapan besar itu lahir dari realitas kondisi bangsa saat ini, yaitu angka stunting nasional berada di kisaran 21 persen (BPS:2023).
Tidak bisa dipungkiri, program MBG telah membawa manfaat nyata di banyak sekolah. Di sejumlah daerah, anak-anak bisa menikmati sarapan tanpa memberatkan orang tua, sementara guru juga melihat kehadiran siswa semakin meningkat sejak program ini berjalan.
Bagi sebagian keluarga, terutama yang tinggal di daerah dengan tingkat ekonomi rendah, program ini membantu meringankan beban pengeluaran harian. Banyak orang tua merasa lebih tenang melepas anak ke sekolah karena yakin kebutuhan gizinya tercukupi.
MBG juga membuka peluang ekonomi baru. Penyediaan makanan yang melibatkan UMKM lokal, petani, hingga pedagang pasar membuat perputaran ekonomi daerah semakin hidup. Program ini tidak hanya berdampak pada kesehatan siswa, tetapi juga menjadi penopang kesejahteraan masyarakat di sekitar sekolah.
Ada juga praktik baik di beberapa daerah yang berhasil menjalankan MBG dengan manajemen yang cukup baik. Penyedia makanan melibatkan UMKM lokal, menjaga kualitas bahan segar, dan bekerja sama dengan orang tua serta sekolah untuk memastikan makanan aman dan sesuai kebutuhan anak. Model ini menunjukkan bahwa program sebenarnya bisa berjalan baik bila pengawasan dan manajemen dilaksanakan dengan serius.
Namun, sebagian fakta di lapangan menunjukkan cerita lain. Beberapa kasus keracunan massal justru bersumber dari makanan MBG menjadi alarm keras bagi kita semua. Alih-alih menyehatkan, program ini malah berpotensi mengancam keselamatan anak-anak, akibat tidak dikelola dengan standar ketat. Fakta ini memperlihatkan bahwa niat baik tanpa pengawasan bisa berubah menjadi bencana.