Kepastian hukum juga penting untuk melindungi semua pihak sekolah, orang tua, hingga penyedia makanan. Regulasi yang transparan akan memberi kejelasan tanggung jawab, sehingga bila terjadi masalah, penegakan hukum bisa berjalan cepat dan adil. Dengan demikian, program MBG tidak hanya kuat dari sisi niat dan teknis, tetapi juga memiliki landasan hukum yang menjamin keberlanjutan serta akuntabilitasnya.
Pandangan Tokoh Politik
Sejumlah tokoh politik turut mengkritisi pelaksanaan MBG yang berbasis penyediaan makanan massal. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), misalnya, menilai lebih bijak jika dana MBG diberikan langsung kepada orang tua. Menurutnya, “tidak ada orang tua yang tega memberikan makanan beracun untuk anaknya sendiri”, Najwashihab, (04/07/2024). Dengan demikian, risiko keracunan bisa ditekan sekaligus memberdayakan keluarga.
Senada dengan itu, Dedi Mulyadi menekankan bahwa rumah tangga adalah pihak yang paling memahami kebutuhan gizi anak-anaknya. Bagi Dedi, mekanisme bantuan langsung jauh lebih efektif dibanding sistem katering massal yang rawan menimbulkan masalah, Dedimulyadiofficial, (05/06/2024).
Kritik serupa datang dari Muazzim Akbar, anggota DPR RI, yang menyebut bahwa pola distribusi MBG perlu evaluasi menyeluruh karena justru membuka celah penyalahgunaan anggaran. Dalam rapat Komisi IX DPR RI dengan Badan Gizi Nasional, Selasa (06/05/2025), Muazzim menyampaikan bahwa banyak Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di NTB dikelola secara “asal-asalan” — buah yang diberikan ada yang mengandung ulat, nasi yang sudah keras, dan pengawasan dari BGN lemah. Kompas Video.
Sementara itu, Syafruddin, Anggota DPR RI dari Kalimantan Timur, mengingatkan bahwa program MBG berpotensi gagal jika tidak ditangani serius. Dia menekankan bahwa anggaran per porsi Rp 10.000 yang ditetapkan pemerintah tidak realistis untuk daerah-daerah terpencil dan tantangan geografis. Emedia DPR.