Oleh: Hadi Kammis
Alor News (Opini) – Guru adalah penyangga peradaban bangsa. Dari ruang kelas sederhana lahirlah penerus negeri yang menentukan arah masa depan Indonesia. Namun, di balik semangat mencerdaskan anak bangsa, ada cerita getir yang masih membayangi, nasib guru honorer, terutama mereka yang mengabdi di sekolah swasta. Mereka seringkali bekerja dengan penuh dedikasi, tetapi menerima imbalan yang jauh dari layak. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang mendapat honor setara dengan uang transportasi harian, jumlah yang jelas tidak sebanding dengan pengorbanan dan tanggung jawab besar yang mereka emban. Sementara mereka dituntut untuk mengikuti perkembangan kurikulum, teknologi pembelajaran, serta menjaga kualitas pendidikan.
Potret Kesenjangan
Ketulusan mereka diusik oleh ketimpangan status, antara ASN dan Non-ASN. Guru ASN menikmati kepastian gaji, berbagai tunjangan, dan perlindungan status yang jelas. Sebaliknya, guru honorer, terutama di sekolah swasta bertahan dengan honor seadanya, bahkan jauh di bawah standar kebutuhan hidup layak, walaupun beban kerja mereka sama, tanggung jawab mereka setara, yaitu mendidik anak bangsa agar tumbuh cerdas dan berakhlak.
Lebih menyakitkan lagi, nasib guru honorer di sekolah swasta kian timpang dibandingkan rekan mereka di sekolah negeri. Seolah tak dianggap, mereka hanya bisa menyaksikan guru honorer negeri mendapat jatah PPPK, meski sama-sama lama mengabdi. Ketidakadilan ini menambah luka, membuat mereka seakan terhapus dari peta kebijakan pendidikan nasional. Dalam sunyi, mereka tetap mengajar dengan hati, meski kepastian masa depan telah direnggut dari genggaman.
Guru Swasta di Pelosok
Di daerah tertinggal, ketidakadilan itu semakin terasa. Guru honorer swasta harus menghadapi mahalnya biaya hidup, akses transportasi yang sulit, serta fasilitas sekolah yang terbatas. Tak jarang, mereka harus merogoh kantong pribadi demi kelancaran proses belajar. Semua itu dijalani dengan ikhlas, meski nasib mereka kerap diperlakukan seolah hanya “pemain cadangan” dalam sistem pendidikan nasional.
Banyak kalangan berpendapat bahwa guru honorer adalah tanggung jawab yayasan. Pandangan ini memang tidak salah sepenuhnya. Untuk yayasan-yayasan besar yang berafiliasi dengan para konglomerat, para pejabat pemerintah, dan para tokoh politik, mungkin kesejahteraan guru honorer tidak menjadi masalah.
Namun, bagaimana dengan guru honorer di yayasan kecil di pelosok desa?, di perkampungan-perkampungan terpencil yang hanya menjadikan yayasan sebagai alat pemenuhan regulasi bagi masyarakat dalam mengelola lembaga pendidikan?
Merekalah kelompok yang paling rentan. Dengan penghasilan minim dan beban kerja berat, mereka tetap teguh berdiri demi pendidikan anak-anak pelosok negeri. Mereka berjuang tanpa sorotan kamera, tanpa jaminan masa depan, hanya berbekal niat tulus untuk mencerdaskan bangsa.
Lantas, pantaskah pengorbanan sebesar itu dibiarkan tanpa kepastian kesejahteraan dan perlindungan negara?